Bagaimana Ketentuan Pajak Atas Uang Penghargaan Masa Kerja?
Uang penghargaan masa kerja adalah uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang - undang No. 12 tahun 1964 sebagai penghargaan pengusaha kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja. Lalu, bagaimana ketentuan pajaknya? Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan, dalam Pasal 1 angka 4 yang berbunyi,
“Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa uang penghargaan masa kerja merupakan bagian dari uang pesangon. Sehingga, perlakuan pajak atas pemberian uang penghargaan masa kerja sama dengan perlakuan pajak atas pemberian uang pesangon.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP 68/2009, “Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final”. Masih dalam pasal yang sama, pada ayat (2) juga dijelaskan bahwa penghasilan uang pesangon dianggap dibayarkan sekaligus jika sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.
Adapun tarif PPh Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK/03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus, yang berbunyi,
“Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
- sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
- sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
- sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
- sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Perlu diingat bahwa tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kemudian, berdasarkan Pasal 9 ayat (5) PMK 16/2010 bahwa, “Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.”